Selasa, 15 November 2016

I'm Lucky to be Me


Setiap kali melewati jalan raya bebarengan dengan siswa SD yang pulang kembali ke rumah setelah hampir 3/4 hari mereka habiskan waktunya di sekolah, memaksa saya flashback 30an tahun yang lalu. Masa yang dulu sempat saya sesali, sempat saya anggap masa "melas" karena saya beranggapan sayalah orang paling menderita sedunia (sedikit lebay istilah anak jaman sekarang), namun semua kenangan membumbung tinggi nan indah di mata saya saat ini. Terlahir dalam keluarga yang pas-pasan cenderung kekurangan bukanlah pilihan saya (tapi jika saya diberi kesempatan sekali lagi untuk memilih keluarga dimana saya dibesarkan saya akan tetap memilih keluarga ini), seringkali saya membayangkan saya terlahir dari keluarga berkecukupan tanpa harus memikirkan apa yang bisa saya makan esok hari. Bayangan hidup layak dengan baju nan indah, rumah megah beserta segudang mainan, menjadi pengantar tidur setiap malam. Dan ketika terbangun keesokan harinya semuanya hanya angan yang ada di kepala, saya tentu saja tetap berada di dalam rumah sederhana berdinding anyaman bambu, beralaskan tanah yang jika siang hari disiram air banyak-banyak oleh Emak (mbah dari Ibu) agar tidak mbleduk kata Beliau. Keterbatasan ekonomi tidak membuat saya kekurangan kasih sayang, saya punya Emak yang setiap saat menemani saya menghabiskan masa "percobaan" sampai TK di sekolah. Beliau selalu mengantarkan saya kemanapun saya berkegiatan baik di sekolah maupun ketika jalan2 (program sekolah TK saya banyak jalan2nya kayaknya waktu itu hehehehe), bahkan saya akan nangis jejeritan kalau Emak tidak ikut sekolah, mengantarkan saya. Setiap hari beliau menuntun tangan saya berjalan di samping saya sambil membawa kotak makanan dan minuman bekal saya ke sekolah (waktu itu jangankan mobil atau sepeda motor, sepeda saja sudah merupakan barang mewah untuk keluarga kami). Emak juga yang berperan banyak ketika saya sakit atau ketika saya butuh perlindungan dibalik jarik beliau karena Bapak saya marah, sampai2 ketika lampu mati (notabene listriknya yang mati) yang saya panggil sambil berteriak adalah Emak bukan orang lainnya.
Masa kecil saya lewati tanpa kontaminasi youtube, facebook, whatsapp, bbm, bahkan juga televisi (karena di rumah kami barang yang paling berharga saat itu hanyalah radio yang saya sendiri tidak tahu dibelinya tahun berapa, karena saya sudah melihat radio itu ada di samping saya menemani aktivitas saya dan keluarga sehari-hari ketika kemampuan memori saya mulai berkembang. Masa itu saya lalui banyak dengan bermain di luar rumah dengan teman yang masih juga sodara, entah bermain tembak-tembakan memakai pelepah daun pisang, atau membuat mobil-mobilan dari kulit buah jeruk bali, berkejaran karena gelembung dari tumbukan daun ribang (kalau sekarang banyak pakai deterjen) dicampur air, atau kalau lagi cuaca mendung dan hujan saya hanya bermain bongkar pasang sejenis mainan anak-anakan dari kertas, yang mungkin boomingnya saat itu bisa disamakan dengan Pokemon Go saat ini, di dalam rumah. Bagi saya ragam permainan kami saat itu banyak sekali, dari yang tidak menimbulkan kotor di lantai maupun baju sampai yang membuat ibu marah-marah karena noda di baju saya yang tidak bisa hilang .....hahaha indahnya masa itu.
Semua aktivitas yang saya lakukan saat itu tidak saya jumpai di masa anak-anak saya kini. Saya berpikir masa kecil anak sekarang tidak asik, tidak ada main benteng-bentengan, petak umpet hingga malam menjelang, bermain gobak sodor, atau sekedar bermain srigendem jika malam purnama datang. Saya masih mengalami semuanya, masih sempat menikmati indahnya sinar purnama tanpa nyala listrik di sekitaran rumah. Namun mungkin saya salah, mungkin anak-anak sekarang juga menikmati mainan dalam gadget mereka seperti saya sangat menikmati mainan saya kala itu, dan mungkin juga suatu saat cerita mereka tentang masa kecil mereka dengan mainan atau hewan peliharaan yang terkurung dalam gadget mereka menjadi cerita yang begitu asyik untuk dikisahkan kepada anak cucu mereka seperti saya saat ini.
Bukan tidak berarti hidup saya tidak bahagia saat itu, di tengah keterbatasan dan kekurangan, saya masih menikmati limpahan kasih sayang dari orang-orang di sekitar saya. Kasih sayang yang mereka rupakan dengan cara mereka yang mungkin sangat berbeda dengan cara orang kebanyakan dalam mengungkapkan cinta. Tidak banyak pelukan, ciuman, yang kami daratkan pada orang-orang yang kami sayangi, tapi kami selalu berusaha ada untuk mereka ketika mereka membutuhkan kami. Ya, kami punya cara sendiri untuk menyayangi masing-masing dari kami. Cara ini yang mengiringi saya tumbuh menjadi manusia dewasa awal, masa SMP yang penuh penderitaan, menurut saya kala itu, namun untuk saat ini bagi saya masa-masa itu adalah masa dimana saya dapat belajar banyak untuk hidup. Untuk menjadi dewasa lebih cepat daripada biasanya, untuk menjadi orang yang tidak gampang menyerah pada keadaan, menjadi orang yang harus paham dengan apa yang sekitar saya rasakan, untuk menjadi seseorang yang punya impian tinggi dan harus diwujudkan. Entah berapa ratus kali saya merasa bersyukur saya dibesarkan dalam keluarga saya ini, keluarga yang memberikan banyak pelajaran hidup yang sangat berharga yang membantu saya menjadi saya saat ini. Sekali lagi jika saya harus memilih untuk dilahirkan kembali, saya akan memilih dilahirkan di keluarga ini bukan keluarga yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar